Bab I Pendahuluan
Konsep bahwa Islam sebagai agama wahyu yang mempunyai
doktrin-doktrin ajaran tertentu yang harus diimani, juga tidak melepaskan
perhatiannya terhadap kondisi masyarakat tertentu. Kearifan lokal (hukum) Islam
tersebut ditunjukkan dengan beberapa ketentuan hukum dalam al-Qur’an yang
merupakan pelestarian terhadap tradisi masyarakat pra-Islam.
S. Waqar Ahmed Husaini mengemukakan, Islam sangat
memperhatikan tradisi dan konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi jurisprudensi
hukum Islam dengan penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu. Prinsip
demikian terus dijalankan oleh Nabi Muhammad saw. Kebijakan-kebijakan beliau
yang berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam sunnahnya banyak mencerminkan
kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat.
Sehingga sangatlah penting
bagi umat muslim untuk mengetahui serta mengamalkan salah satu metode Ushl
Fiqh untuk meng-Istimbath setiap permasalahan dalam
kehidupan ini.
Dengan kaidah tersebut, hukum Islam
dapat dikembangkan dan diterapkan sesuai dengan tradisi (adat) yang
sudah berjalan. Sifat al-Qur’an dan al-Sunnah yang
hanya memberikan prinsip-prinsip dasar dan karakter keuniversalan hukum Islam
(sebagaimana contoh ayat di atas) dapat dijabarkan kaidah ini dengan melihat
kondisi lokal dengan masing-masing daerah. Lebih jauh, dengan kaidah tersebut,
dalam bidang perdagangan (perekonomian), qa’idah fiqhiyah memberikan
keluasaan untuk menciptakan berbagai macam bentuk transaksi atau kerja sama,
yaitu dengan kaidah:
“Sesuatu yang sudah terkenal (menjadi
tradisi) di kalangan pedagang, seperti syarat yang berlaku diantara mereka”
Kaidah-kaidah tersebut memberikan
peluang pada kita untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum, apabila tidak ada
nash yang menjelaskan ketentuan hukumnya. Bahkan meneliti dan
memperhatikan adat (‘urf) untuk dijadikan dasar
pertimbangan dalam menetapkan suatu ketentuan hukum merupakan suatu keharusan.
Bab II Pembahasan
2.1 Pengertian
Secara
bahasa “Al-adatu” terambil dari kata “al-audu” dan “al-muaawadatu”
yang berarti “pengulangan”, Oleh karena itu, secara bahasa al-’adah
berarti perbuatan atau ucapan serta lainnya yang dilakukan berulang-ulang
sehingga mudah untuk dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan.[1]
Al-urf secara harfiah adalah berarti sebuah keadaan , ucapan,
perbuatan, atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi
untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Dibeberapa masyarakat, Urf ini
sering disebut juga sebagai adat istiadat.
Sedangkan menurut Syeikh Abdul Wahab, Al-urf adalah apa yang saling diketahui dan yang saling dijalani orang. Baik berupa perkataan, perbuatan, atau meninggalkannya. Pengertian sebelumnya juga sama dengan pengertian para ahli Syara’, bahwa contoh Al-urf itu bisa berupa suatu yang bersifat perbuatan dengan adanya saling pengertian diantara sesama manusia tentang jual beli tanpa adanya Syighot. Sedangkan jika berupa perkataan adalah adanya pengertian tentang kemutlakan lafad al-walad atas anak laki-laki bukan perempuan, dan juag tentang meng-itlak-kan lafadz Al-Lahm yang bermakna daging atas as-samak yang bermakna ikan tawar.
Sedangkan menurut Syeikh Abdul Wahab, Al-urf adalah apa yang saling diketahui dan yang saling dijalani orang. Baik berupa perkataan, perbuatan, atau meninggalkannya. Pengertian sebelumnya juga sama dengan pengertian para ahli Syara’, bahwa contoh Al-urf itu bisa berupa suatu yang bersifat perbuatan dengan adanya saling pengertian diantara sesama manusia tentang jual beli tanpa adanya Syighot. Sedangkan jika berupa perkataan adalah adanya pengertian tentang kemutlakan lafad al-walad atas anak laki-laki bukan perempuan, dan juag tentang meng-itlak-kan lafadz Al-Lahm yang bermakna daging atas as-samak yang bermakna ikan tawar.
Dengan demikian Urf mencakup sikap saling pengertian diantara
manusia atas perbedaan tingkatan diantara mereka. Baik keumumannya maupun
kekhususannya. Maka Urf berbeda dengan ijma’ karena ijma’ merupakan tradisi
dari kesepakatan para mujtahidin secara khusus.
Menurut hasil penelitian al-Tayyib
Khudari al-Sayyid, guru besar Ushul Fiqih di Universitas Al-Azhar Mesir dalam karyanya fi
al-ijtihad ma la nassa fih, bahwa mazhab yang dikenal banyak menggunakan
‘Urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan Malikiyyah,
dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah. Menurutnya,
pada prinspnya mazhab-mazhab besar fiqih tersebut sepakat menerima adat
istiadat sebagai landasan pembentukan hukum, meskipun dalam jumlah dan
rinciannya terdapat perbedaan pendapat diantara mazhab-mazhab tersebut,
sehingga ‘Urf dimasukkan kedalam kelompok dalil-dalil yang diperselisihkan dikalangan
ulama.
‘Urf mereka terima sebagai landasan hukum dengan beberapa
alasan , antara lain :
Surat
al-a’raf ayat 199:
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚÌôãr&ur Ç`tã úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
Artinya: “ jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf,
serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”
Kata
al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh
Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan
masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk
mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi
dalam suatu masyarakat.
Pada
dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau
tradisi itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu
dengan masyrakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta
ada pula yang dihapuskan. Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang
dengan cara berbagi untung (al-mudarabah). Praktik seperti ini
telah berkembang di bangsa Arab sebelum Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para
Ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan
landasan hokum, bilamana memenuhi beberapa persyaratan.
2.3 Macam-macam Al-‘Urf
A.
Klasifikasi ‘Urf ditinjau
berdasarkan ruang lingkupnya, yaitu:
a. ‘Urf ‘am (umum). Yaitu ‘urf yang berlaku
di seluruh negeri muslim, sejak zaman dahulu sampai saat ini. Para ulama
sepakat bawa ‘urf umum ini bisa dijadikan sandaran hukum.
b. ‘Urf khosh (khusus). Yaitu
sebuah ‘urf yang hanya berlaku di sebuah daerah dan tidak
berlaku pada daerah lainnya. ‘Urf ini diperselisihkan oleh
para ulama apakah boleh dijadikan sandaran hukum ataukah tidak.[3]
Contoh: Di sebuah daerah tertentu, ada
seseorang menyuruh seorang makelar untuk menawarkan tanahnya pada pembeli,
dan ‘urf yang berlaku di daerah tersebut bahwa nanti kalau
tanah laku terjual, makelar tersebut mendapatkan 2% dari harga tanah yang
ditanggung bendua antara penjual dengan pembeli; maka inilah yang berlaku,
tidak boleh bagi penjual maupun pembeli menolaknya kecuali kalau ada perjanjian
sebelumnya.
B.
Klasifikasi ‘Urf ditinjau
berdasarkan objeknya, yaitu:
a. ‘Urf Lafzhy (ucapan). Yaitu
sebuah kata yang dalam masyarakat tententu dipahami bersama dengan makna
tertentu, bukan makna lainnya. ‘Urf ini kalau berlaku umum di
seluruh negeni muslim ataupun beberapa daerah saja maka bisa dijadikan sandaran
hukum.
Misalnya:
a)
Ada seseorang
berkata: “Demi Alloh, saya hari ini tidak akan makan daging.” Ternyata
kemudian dia maka ikan, maka orang tersebut tidak dianggap melanggar sumpah,
karena kata ”daging” dalam kebiasaan masyarakat kita tidak
dimaksudkan kecuali untuk daging binatang darat seperti kambing, sapi, dan
lainnya.
b)
Ada seorang penjual berkata: “Saya
jual kitab ini seharga lima puluh ribu.” Maka yang dimaksud adalah
lima puluh ribu rupiah, bukan dolar ataupun riyal.
b.
‘Urf
Amali (perbuatan). Yaitu Sebuah pembuatan yang sudah
menjadi ‘urf dan kebiasaan masyanakat tertentu. Ini juga bisa
dijadikan sandaran hukum meskipun tidak sekuat ‘urf lafzhy.
Misalnya:
Dalam masyarakat tertentu ada ’urf orang
bekerja dalam sepekan mendapat libur satu hari, pada hari Jum’at. Lalu kalau
seorang yang melamar pekerjaan menjadi tukang jaga toko dan kesepakatan dibayar
setiap bulan sebesar Rp.500.000, maka pekerja tersebut berhak berlibur setiap
hari Jum’at dan tetap mendapatkan gaji tersebut.
C.
Klasifikasi ‘Urf ditinjau
berdasarkan diterima atau tidaknya, yaitu:
a.
‘Urf
shahih ialah ‘urf yang baik dan dapat diterima
karena tidak bertentangan dengan syara’.
Misalnya:
Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad
nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan
dengan syara’.
b. ‘Urf bathil ialah ‘urf yang
tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara’.
Misalnya:
Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung
atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena
berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.
Tidak
semua ‘urf bisa dijadikan sandaran hukum. Akan tetapi, harus
memenuhi beberapa syarat, yaitu:
1)
’Urf itu
berlaku umum. Artinya, ‘urf itu dipahami oleh semua lapisan
masyarakat, baik di semua daerah maupun pada daerah tertentu. Oleh karena itu,
kalau hanya merupakan ‘urf orang-orang tententu saja, tidak
bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran hukum.
2)
Tidak
bertentangan dengan nash syar’i. Yaitu ‘Urf yang selaras
dengan nash syar’i. ‘Urf ini harus dikerjakan, namun bukan
karena dia itu ’urf, akan tetapi karena dalil tersebut.
Misalnya:
‘Urf di masyarakat
bahwa seorang suami harus memberikan tempat tinggal untuk istrinya. ‘Urf semacam
ini berlaku dan harus dikerjakan, karena Alloh Azza wa Jalla berfirman:
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr wur £`èdr!$Òè? (#qà)ÍhÒçGÏ9 £`Íkön=tã 4 bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`Íkön=tã 4Ó®Lym z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq 4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& ( (#rãÏJs?ù&ur /ä3uZ÷t/ 7$rã÷èoÿÏ3 ( bÎ)ur ÷Län÷| $yès? ßìÅÊ÷äI|¡sù ÿ¼ã&s! 3t÷zé& ÇÏÈ
Artinya: tempatkanlah
mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika
mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
(QS. athTholaq [65]:6)
3)
‘Urf itu sudah
berlaku sejak lama, bukan sebuah ‘urf baru yang barusan
terjadi.
Misalnya:
Maknanya kalau ada seseorang yang mengatakan demi Allah,
saya tidak akan makan daging selamanya. Dan saat dia
mengucapkan kata tersebut yang dimaksud dengan daging adalah daging kambing dan
sapi; lalu lima tahun kemudian ‘urf masyarakat berubah bahwa
maksud daging adalah semua daging termasuk daging ikan. Lalu orang tersebut
makan daging ikan, maka orang tersebut tidak dihukumi melanggar sumpahnya
karena sebuah lafadh tidak didasarkan pada ‘urf yang muncul
belakangan.
4)
Tidak
berbenturan dengan tashrih. Jika sebuah ‘urf berbenturan
dengan tashrih (ketegasan seseorang dalam sebuah masalah), maka ‘urf itu
tidak berlaku.
Misalnya:
Kalau seseorang bekerja di sebuah
kantor dengan gaji bulanan Rp. 500.000,- tapi pemilik kantor tersebut
mengatakan bahwa gaji ini kalau masuk setiap hari termasuk hari Ahad dan hari
libur, maka wajib bagi pekerja tersebut untuk masuk Setiap hari maskipun ‘urf masyarakat
memberlakukan hari Ahad libur.
5)
‘Urf tidak berlaku
atas sesuatu yang telah disepakati
Hal ini sangatlah penting karena bila
ada ’urf yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati
oleh para ulama (dalam hal ini ’Ijma) maka’urf menjadi
tidak berlaku, terlebih bila ’urf nya bertentangan dengan
dalil syar’i.
2.5 Pandangan Ulama Mengenai ’Urf
Berikut adalah
praktek-praktek ’Urf dalam masing-masing mahzab:
1) Fiqh Hanafy
a.
Dalam akad jual
beli. Seperti standar harga, jual beli rumah yang meliputi bangunanya meskipun
tidak disebutkan.
b.
Bolehnya
jual beli buah yang masih dipohon karena ’urf.
c.
Bolehnya
mengolah lahan pertanian orang lain tanpa izin jika di daerah tersebut ada
kebiasaan bahwa lehan pertanian digarap oleh orang lain, maka pemiliknya bisa
meminta bagian.
d.
Bolehnya
mudharib mengelola harta shahibul maal dalam segala hal menjadi kebiasaan para
pedagang.
e.
Menyewa rumah
meskipun tidak dijelaskan tujuan penggunaaannya
2) Fiqh Maliki
a.
Bolehnya jual
beli barang dengan menunjukkan sample
b.
Pembagian
nisbah antara mudharib dan sahibul maal berdasarkan ’urf jika
terjadi perselisihan
3) Fiqh Syafi’i
a.
Batasan
penyimpanan barang yang dianggap pencurian yang wajib potong tangan
b.
Akad sewa atas
alat transportasi
c.
Akad sewa atas
ternak
d.
Akad istishna
4)
Fiqh Hanbali
Jual beli mu’thah
Para ulama
sepakat bahwa ‘urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah. Ulama Malikiyah
terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan
hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah
dapat dijadikan dasar hujjah.
Para ulama
telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan seorang hakim harus memelihara ’urf
shahih yang ada di masyarakat dan menetapkannya sebagai hukum. Para
ulama juga menyepakati bahwa ’urf fasid harus dijauhkan dari
kaidah-kaidah pengambilan dan penetapan hukum. ’Urf fasiddalam keadaan
darurat pada lapangan muamalah tidaklah otomatis membolehkannya. Keadaan
darurat tersebut dapat ditoleransi hanya apabila benar-benar darurat dan dalam
keadaan sangat dibutuhkan.
Imam Syafi’i terkenal dengan qaul
qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau
menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul
qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini
menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan‘urf. Tentu
saja ‘urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.
Abdul Wahab
Khalaf berpandangan bahwa suatu hukum yang bersandar pada ’Urf akan
fleksibel terhadap waktu dan tempat, karena Islam memberikan prinsip sebagai
berikut:
“Suatu ketetapan hukum (fatwa) dapat berubah disebabkan
berubahnya waktu, tempat, dan siatuasi (kondisi)”.
Dengan
demikian, memperhatikan waktu dan tempat masyarakat yang akan diberi beban
hukum sangat penting. Prinsip yang sama dikemukakan dalam kaidah sebagai
berikut:
“Tidak dapat
diingkari adanya perubahan karena berubahnya waktu (zaman)”.
Dari prinsip
ini, seseorang dapat menetapkan hukum atau melakukan perubahan sesuai dengan
perubahan waktu (zaman). Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa suatu ketentuan hukum
yang ditetapkan oleh seorang mujtahid mungkin saja mengalami perubahan karena
perubahan waktu, tempat keadaan, dan adat.
Jumhur ulama
tidak membolehkan ’Urf Khosh. Sedangkan sebagian ulama Hanafiyyah
dan Syafi’iyyah membolehkannya, dan inilah pendapat yangshohih karena
kalau dalam sebuah negeri terdapat ‘urf tertentu maka akad dan
mu’amalah yang terjadi padanya akan mengikuti ‘urf tersebut.
2.6 CONTOH
PRAKTEK ‘URF
Berikut adalah
akad-akad saat ini yang dapat diterima dengan ’Urf, yaitu:
1) Konsep Aqilah dalam asuransi
2) Jual beli barang elektronik dengan akad garansi
3) Dalam sewa menyewa rumah. Biaya kerusakan yang
kecil-kecil yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemilik rumah, menjadi
tanggung jawab penyewa.
Bab III KESIMPULAN
Karakteristik
hukum Islam adalah syumul (universal) dan waqiyah(kontekstual)
karena dalam sejarah perkembangan (penetapan)nya sangat memperhatikan tradisi,
kondisi (sosiokultural), dan tempat masyarakat sebagai objek (khitab), dan
sekaligus subjek (pelaku, pelaksana) hukum. Perjalanan selanjutnya, para Imam
Mujtahid dalam menerapkan atau menetapkan suatu ketentuan hukum (fiqh)
juga tidak mengesampingkan perhatiannya terhadap tradisi, kondisi, dan kultural
setempat.
Tradisi,
kondisi (kultur sosial), dan tempat merupakan faktor-faktor yang tidak dapat
dipisahkan dari manusia (masyarakat). Oleh karenanya, perhatian dan respon
terhadap tiga unsur tersebut merupakan keniscayaan.
Tujuan utama
syari’at Islam (termasuk didalamnya aspek hukum) untuk kemaslahatan manusia –
sebagaimana di kemukakan as-Syatibi– akan teralisir dengan konsep tersebut.
Pada gilirannya syari’at (hukum) Islam dapat akrab, membumi, dan diterima di
tengah-tengah kehidupan masyarakat yang plural, tanpa harus meninggalkan
prinsip-prinsip dasarnya.
Sehingga dengan
metode al-’urf ini, sangat diharapkan berbagai macam
problematika kehidupan dapat dipecahkan dengan metode ushl fiqhsalah
satunya al-’urf, yang mana ’urf dapat memberikan
penjelasan lebih rinci tanpa melanggar al-Quran dan as-Sunnah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar